Oleh : Meni Warlia, SH, MH, (Hakim PN Bangkinang)
Tanggal Posting: 15-04-2020 08:17:19

REVITALISASI MEDIASI DI PERADILAN PADA MASA PANDEMI COVID-19



Pandemi Covid-19 adalah tragedi kemanusiaan yang melibatkan miliaran manusia terdampak. Tidak diragukan lagi, ia adalah salah satu hantaman terkeras yang pernah mendarat di tubuh peradaban kita. Hukum sebagai salah satu supporting system yang menopang proses interaksi sosial tidak pula luput dari persoalan turunan akibat Covid-19.

Layaknya kutipan Michael Dooley disaster gave me two things: a moment to react and a decision to overcome, dunia peradilan segera bereaksi dan mengambil keputusan menerbitkan regulasi yang tidak biasa namun terbukti layak diapresiasi. Lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2020 yang mengejawantahkan Salus Populi Suprema Lex Esto dan surat dari Dirjen Badan Peradilan Umum Nomor : 379/DJU/PS.00/3/2020 tanggal 27 Maret 2020 pada gilirannya menjadi payung hukum dan dasar pijakan bagi pelaksanaan persidangan secara tele-conference;

Dalam system peradilan pidana, covid-19 memang telah memaksa terjadinya perubahan dalam proses pemeriksaan pidana khususnya mengenai kehadiran terdakwa di persidangan yang kini tidak hanya diartikan kehadiran secara fisik, namun juga kehadiran secara elektronik dalam bentuk video conference (vicon). Meski dalam praktiknya masih terdapat perbedaan pendapat dengan segala alasannya apakah pelaksanaan video conference dalam sidang pidana ini dibatasi hanya khusus terhadap terdakwa yang masa penahanannya tidak bisa diperpanjang lagi atau juga dapat diberlakukan bagi terdakwa yang masih dapat diperpanjang penahanannya atau bahkan terhadap perkara yang baru dilimpahkan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran secara elektronik sudah diterima sebagai norma hukum dan fatsun yang jamak dipraktikkan oleh hakim.

Jika peradilan pidana telah berubah akibat covid-19, peradilan perdata ternyata tidak mengalami hal serupa. Penulis beranggapan hal ini sebagian disebabkan karena peradilan perdata memang telah lebih dahulu mengadopsi sistem persidangan secara elektronik atau e-litigasi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019. Sebelum itu, sesungguhnya Mahkamah Agung telah membuka ruang bagi kehadiran seseorang secara elektronik. Pasal 5 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi  menyatakan bahwa pertemuan mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.

Dalam situasi normal, ketentuan Pasal 5 ayat (3) tentang mediasi itu cenderung akan kita artikan bahwa jika kehadiran fisik menjadi memberatkan –mungkin karena para pihak di luar daerah atau sebab-sebab lainnya-, maka terbuka pilihan kemungkinan kehadiran secara elektronik sebagai alternatif dan solusi bagi sulitnya mempertemukan para pihak secara fisik. Namun pengertian kita cenderung berbalik 180 derajat jika kita membaca Pasal 5 ayat (3) itu di tengah pandemi sekarang ini. Dalam situasi seperti saat ini, kehadiran secara elektronik justru menjadi pilihan pertama karena dengan melaksanakan mediasi yang berhasil kita berarti telah memotong rantai potensi pertemuan dan berkumpulnya massa yang terjadi selama proses persidangan.

Lebih jauh lagi, proses mediasi yang bersifat tertutup untuk umum secara lansgung memudahkan pengadilan untuk mengontrol jumlah partisipan yang hadir di dalam peradilan. Jika mediasi memang memberikan manfaat baik dalam proses penyelesaian perkaranya maupun memberikan manfaat dalam memotong mata rantai penyebaran virus covid-19, tidakkah mediasi itu selayaknya betul-betul diikhtiarkan sebagai salah satu tahapan penyelesaian perkara, alih-alih sekedar melepaskan kewajiban formalitas hukum belaka. Tulisan ini mencoba mengingatkan kembali arti pentingnya mediasi di peradilan khususnya dikaitkan dengan situasi pandemi covid-19 ini. Pasal 50 Undang-Undang tentang Peradilan Umum sesungguhnya telah menyatakan bahwa kewenangan Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan Perkara Pidana dan Perdata di tingkat pertama. Dalam praktiknya kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ini ternyata tidak selamanya mudah difahami. Ada beberapa kesalahpahaman yang penulis catatkan. Pertama, Dalam beberapa level kita bahkan dapat mengamati bahwa istilah memutus dan menyelesaikan perkara kadang dijumbuhkan satu sama lain. Jika dikatakan Mahkamah Agung menyelesaikan 20.276 perkara di Tahun 2019 dan karenanya mencatat rekor penyelesaian perkara tertinggi sepanjang sejarah, maka ungkapan tersebut secara yuridis formal dapat dibenarkan mengingat penyelesaian perkara di Mahkamah Agung memang berarti selesai memutus perkara, sama hal nya dengan pengadian banding. Berbeda dengan keduanya, istilah menyelesaikan perkara di tingkat pertama tidak melulu berarti memutus perkaranya, melainkan betul-betul menyelesaikannya.

Kedua, Selama ini masih banyak yang mengartikan bahwa frasa “menyelesaikan perkara” dalam pasal tersebut terbatas pada eksekusi pidana maupun perdata. Padahal jika direnungkan secara filosofis, selesainya perkara dapat terwujud tidak hanya dengan eksekusi pengadilan, melainkan juga perdamaian antara para pihak. ?Bukankah perdamaian yang dihasilkan dari mediasi, secara serta merta mengakibatkan selesainya perkara. Penyelesaian yang sesungguhnya dilakukan sendiri oleh para pihak dan tidak memerlukan upaya hukum lebih lanjut sehingga hasilnya dapat segera dinikmati.

Mediasi di Pengadilan (court annexed mediation)  itu sendiri memiliki sejarah pasang surut yang cukup panjang. Pasal 130 Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) dan pasal 154 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) mengatur tentang lembaga perdamaian dan mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa. Ketentuan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam Menerapkan Lembaga Damai yang dimaksud dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg tersebut.

Mediasi mulai berlaku dan bersifat wajib bagi seluruh perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Tahun 2008, PERMA No. 2 Tahun 2003 diganti dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 yang kemudian diganti lagi dengan Perma No. 1 tahun 2016, dengan perubahan mendasar adanya itikad baik dalam melaksanakan mediasi.

Meskipun mediasi memiliki banyak keuntungan dalam proses penyelesaian perkara di peradilan, sampai saat ini ternyata tingkat keberhasilan mediasi masih jauh dari angka yang diharapkan. Dalam laporan tahunan terakhirnya, Mahkamah Agung mencatat ada 6% perkara perdata yang mediasinya berhasil.

Rendahnya rasio penyelesaian perkara melalui mediasi ini menurut penulis tidak luput dari perdebatan, terutama disebabkan persoalan teknis pencatatan. Selama ini perkara yang dicatatkan berhasil mediasinya adalah perkara yang mediasinya berhasil sepenuhnya, sementara perkara yang mediasinya berhasil sebagian, baik dari subjek maupun objeknya, tidak dicatatkan sebagai mediasi yang berhasil. Semestinya di masa mendatang baik yang berhasil seluruhnya maupun yang berhasil sebagian tetap dicatatkan dalam kolom yang terpisah, sehingga dapat lebih mewakili gambaran keberhasilan dan tingkat capaian mediasi. Meskipun rasio keberhasilan itu masih bisa diperdebatkan, namun secara umum memang harus diakui bahwa tingkat keberhasilan mediasi memang belum memenuhi harapan.

Rendahnya rasio keberhasilan mediasi menurut penulis disebabkan beberapa hal: pertama, minimnya sumberdaya mediator. Peraturan Mahkamah Agung menyebutkan bahwa setiap hakim peradilan umum dapat bertindak selaku hakim mediator yang ditunjuk oleh ketua pengadilan selain mediator bersertipikat. Meskipun setiap hakim di peradilan umum dapat bertindak menjadi mediator, namun menurut hemat penulis jumlah hakim di masing-masing pengadilan juga belum mencukupi. Terlebih lagi dalam beberapa segi, penunjukan hakim mediator masih dianggap sebagai beban tugas tambahan disamping tugas pokok memeriksa perkara yang memang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan kepada hakim tersebut. Karenanya, menurut hemat penulis akan lebih baik jika baik Mahkamah Agung maupun lembaga-lembaga yang diakui oleh Mahkamah Agung untuk terus menggencarkan pelatihan-pelatihan mediator. Bahkan, ada baiknya jika pelatihan mediator oleh Mahkamah Agung juga melibatkan peserta dari Panitera/ Panitera Pengganti dengan harapan jumlah mediator bersertipikat di setiap daerah dapat meningkat jumlah dan kapasitasnya.

Kedua, kurangnya pemahaman arti penting mediasi. Dari pengalaman penulis, hingga saat ini masih banyak justiciabellen maupun kuasa hukum yang kurang memahami arti penting mediasi. Sebagian masih mengira bahwa proses mediasi adalah formalitas belaka sebagai syarat pemeriksaan di persidangan, sebagian lagi memang tidak memahami kelebihan dan keuntungan mediasi. Kendala ini dapat diatasi dimulai dengan komitmen jajaran peradilan mulai Ketua Pengadilan, Hakim Pemeriksa dan Hakim Mediator, dan juga Panitera dan Panitera Muda Perdata yang selayaknya betul-betul melaksanakan fungsi edukatif lembaga peradilan dengan menjelaskan kelebihan prosedur mediasi disbanding upaya hukum litigasi. Demikian juga kuasa hukum, selayaknya menginformasikan kepada kliennya perihal hak dan kewajiban imperson/?principal dalam proses mediasi.

Ketiga, kurangnya reward. Bagi sebagian kuasa hukum, keberhasilan mediasi berarti berhentinya fee yang diterima. Ungkapan klise ini secara sederhana dapat disiasati dengan membuat klausul khusus dalam perjanjian kuasa yang mengatur perihal selesainya perkara melalui mediasi. Keadaan yang tidak jauh berbeda juga dialami para hakim yang secara ex-officio bertindak selaku hakim mediator, keberhasilan maupun kegagalan mediasi bagi hakim hampir tidak berarti apa-apa. Untungnya masih ada sertipikat penghargaan bagi hakim yang berhasil mendamaikan para pihak. Namun terlepas dari itu semua, belajar dari pengalaman, putusan memang mahkota hakim, tapi berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa selalu memberikan kenikmatan tersendiri. Mungkin tidak buruk jika para hakim perdata berupaya sebaik-baiknya untuk setidak-tidaknya selama karirnya pernah meski hanya sekali, mendamaikan para pihak yang berperkara.

Untuk menutup tulisan ini, ada baiknya dibuka diskusi dan kajian yang lebih mendalam tentang kemungkinan perluasan jangkauan mediasi sampai ke perkara Pidana dan perkara Tata Usaha Negara. Sejauh ini dalam lingkup peradilan pidana, konsep mediasi (atau perdamaian dalam arti yang lebih luas) hanya dapat dimungkinkan dalam perkara anak melalui diversi dengan mengalihkan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar peradilan pidana dalam lingkup paradigma restorative justice.

Jika konsep keadilan restoratif dapat diterapkan dalam pidana anak, tidakkah kiranya dapat pula dikaji secara mendalam kemungkinan diterapkannya konsep itu ke dalam perkara pidana lainnya mengingat dalam beberapa jenis perkara pidana kita sulit mendefinisikan dimana dan dalam skala berapa rusaknya keseimbangan publik akibat terjadinya tindak pidana itu, tetapi justru dapat dengan mudah mengidentifikasi orang-orang yang paling dirugikan akibat tindak pidana tersebut. Jika pihak-pihak yang dirugikan sudah dapat didefinisikan dengan jelas, dan kerugian yang diderita juga dapat dihilangkan dan diobati, dan jika keadaan dapat direstorasi sedemikian rupa, mengapa pilihan restorative justice itu tidak mulai kita pertimbangkan untuk diterapkan di samping konsep keadilan retributif yang selama ini telah mapan. Demikan pula di peradilan tata usaha negara yang sampai saat ini sepemahaman penulis, tidak dikenal konsep mediasi. Namun seiring dengan perubahan paradigma pemerintah itu sendiri mungkin dapat pula dikaji kemungkinan diterapkannya mediasi di peradilan tata usaha negara.

.