Objek wisata Sejarah dikabupaten kampar terdiri dari:
Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di sumatra, merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama budha pernah berkembang di kawasan ini.
Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada dijawa, yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan berasal dari bahasa tionghoa, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran Tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Menurut Snitger, dahulu pada ke-empat sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.
Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.
Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.
Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai altar.
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan kepala singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.
Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek ‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Budha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan oleh sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada) yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik, antara lain :
Di kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung singa, yaitu Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di depan candi atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca singa ditemukan di keempat sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan konsep yang berasal dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang atau baik.
Berdasarkan penelitian R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa bangunan Candi Muara Takus dahulunya merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari biara dan beberapa candi.
Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa -isme">Buddha. Bangunan suci ini dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha. Agama Hindu dan Buddha berasal dari India sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep tentang air suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Maka dalam usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan potensi kesucian suatu tempat dimana akan didirikan bangunan tersebut.
Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angin dimana dewa Lokapala (penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut sebagai Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat berperan selama upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan daerah tersebut. Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan konsep kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat air.
Keadaan geografis wilayah sumatra yang memiliki aliran sungai yang besar sangat mendukung konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor air, faktor ekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di Sumatera pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan perdagangan.
Faktor Kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.
Kerajaan Gunung Sahilan merupakan puncak dari sistem sosial (perasaan kesebangsaan/raison d’entre) dari masyarakat adat Rantau Kampar Kiri, sehingga melahirkan suatu kelembagaan politik yang bernama Kerajaan Gunung Sahilan.
Jika dilihat secara geografis wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan itu terletak di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Secara topografis maka wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan adalah hampir sama dengan wilayah Rantau Kampar Kiri saat ini.
Wilayah Kampar Kiri yang dulunya secara pemerintahan bernama Kecamatan Kampar Kiri akhirnya mengalami pemekaran wilayah pemerintahan sehingga menjadi lima wilayah kecamatan di dalam daerah otonom Kabupaten Kampar yaitu; Kecamatan Kampar Kiri, Kampar Kiri Hulu, Kampar Kiri Hilir, Kampar Kiri Tengah dan Kecamatan Gunung Sahilan.
Luas wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan sama dengan luas Kecamatan Kampar Kiri asal yaitu seluas 347.578 Ha. Di dalam pembahagian wilayah berdasarkan hukum adat Kerajaan Gunung Sahilan wilayah Kerajaan ini adalah “Dari Pangkalan yang duo laras, Pangkalan Serai di laras kiri dan Pangkalan Kapas di laras kanan dihulu Sungai Subayang dan Sungai Batang Bio sampai ke Muara Langgai”.
Secara adat maka wilayah Kerajaan Gunung Sahilan dibagi menjadi tiga Rantau yaitu, pertama Rantau Daulat dari Muara Langgai sampai ke Muara Singingi dengan kampung-kampungya, Mentulik, Sungai Pagar, Jawi-Jawi, Gunung Sahilan, Subarak, Koto Tuo Lipat Kain. Kedua, Rantau Indo Ajo, mulai dari Muara Singingi sampai ke Muara Sawa disebut Indo Ajo dengan nama negerinya adalah Lubuk Cimpur yang disebut dengan kapalo kotonya Gunung Sahilan.
Ketiga, Rantau Andiko dari Muara Sawa sampai Kepangkalan yang dua laras dengan negeri-negeri Kuntu, Padang sawah, Domo, Pulau Pencong, Pasir Amo (Gema), Tanjung Belit, Batu Sanggan, Miring, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Terusan, Pangkalan Serai, Ludai, Koto Lamo dan Pangkalan Kapas. Dan pada awalnya di Rantau Kampar Kiri terdapat enam negeri asal yakni Negeri Gunung Ibu atau Gunung Sahilan, Negeri Bungo Setangkai atau Lipat Kain, Negeri Kuntu, Negeri Domo, Negeri Batu Sanggan dan Negeri Ludai.
Kerajaan Gunung Sahilan secara garis besarnya dibagi ke dalam dua wilayah besar yaitu Rantau Daulat dan Rantau Andiko. Rantau daulat adalah daerah pusat kerajaan. Rantau daulat berpusat di Kenegarian Gunung Sahilan. Sedangkan Rantau Andiko adalah daerah kekuasaan Khalifah yang berempat di mudik.
Sebelum berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan di Rantau Kampar Kiri pernah dikuasai oleh beberapa kerajaan antara lain: Kerajaan Dinasti Fatimiyah yang mendirikan Kerajaan Islam Kuntu Kampar, pendudukan Kerajaan Singosari, dan kekuasaan Dinasti Aru Barumun dari Tanah Aceh.
Berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Pagaruyung yang didirikan oleh Adityawarman. Kerajaan Gunung Sahilan pada masa awal berdirinya diperkirakan pada abad ke 16-17 Masehi merupakan kerajaan bawahan kerajaan Pagaruyung dan raja-raja yang memerintah di Kerajaan Gunung Sahilan adalah keturunan raja Pagaruyung atau Raja Muda Kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Gunung Sahilan berdiri sendiri sebagai Kerajaan Berdaulat setelah runtuhnya Kerajaan Pagaruyung pada awal abad ke 18 Masehi akibat perang paderi. Sistem adat-istiadat Kerajaan Gunung Sahilan adalah sistem adat Kerajaan Pagaruyung yang sudah dipengaruhi oleh ajaran Islam. Secara ilmiah historis Kerajaan Gunung Sahilan mengakui kekuasaan Kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1905 dan kerajaan Gunung Sahilan berakhir setelah bergabung dengan NKRI.
Kontribusi kerajaan dan rakyat Kerajaan Gunung Sahilan bagi kemerdekaan cukup besar, terutama dukungan kerajaan terhadap kemerdekaan dan kontribusi rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan pada masa agresi militer Belanda I dan II dimana wilayah eks Kerajaan Gunung Sahilan adalah basis pertahanan Militer Republik dengan nama Resort Riau Selatan yang tidak pernah mampu ditembus oleh Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II.
Di Kerajaan Gunung Sahilan pemerintahan tertinggi ditangan Raja yang menguasai adat (pemerintahan) dan ibadat (keagamaan). Gelar raja Kerajaan Gunung Sahilan adalah “Tengku Yang Dipertuan Besar” dan untuk Raja Ibadat “Tengku Yang Dipertuan Sati”.
Kedudukan Raja dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai Lambang Negara Kerajaan, sementara pemerintahan dalam artian eksekutif dikendalikan oleh lembaga ini disebut Kerapatan Khalifah nan berempat dimudik berlima dengan Dt. Besar Khalifah Van Kampar kiri. Kedudukan para khalifah ini dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai Majelis Menteri (Kementerian) dimana fungsinya dibagi menurut bagian-bagian tertentu.
Kerajaan Gunung Sahilan diperkirakan berdiri sekitar abad ke 16-17, dan berakhir pada tahun 1946. Kerajaan Gunung Sahilan berdiri selama lebih kurang 300 tahun. Selama itu Kerajaan Gunung Sahilan diperintah oleh Sembilan orang Raja atau Sultan dan satu orang Putra Mahkota yang akan dinobatkan menjadi Sultan apabila raja yang terakhir wafat. Sembilan Raja dan satu orang Putra Mahkota itu adalah sebagai berikut :
Pertama, Tengku yang Dipertuan Bujang Sati bergelar Sutan Pangubayang diperkirakan tahun 1700-1730. Mangkat di Pagaruyung merupakan anak raja yang dijemput ke Pagaruyung.
Kedua, Tengku Yang dipertuan Nan Elok, 1730-1760, mangkat di Mekah. Ketiga, Tengku yang Dipertuan Muda I, 1760-1800, Mangkat di Pulau Gameran Laut Merah. Keempat, Tengku yang Dipertuan Hitam 1800-1840, mangkat di Gunung Sahilan.
Kelima, Tengku yang Dipertuan Abdul Jalil Khalifatullah, 1840-1870, mangkat di Jeddah. Keenam, Tengku yang Dipertuan Besar Tengku Daulat, 1870-1905. Ketujuh, Tengku Abdurrahman yang Dipertuan Muda. Kedelapan Tengku Sulung yang Dipertuan Besar, 1930-1945 (Raja Adat)
Kesembilan, Tengku Haji Abdullah Yang Dipertuan Sati 1930-1945 (Raja Ibadat). Kesepuluh Tengku Ghazali (putra Mahkota) dilantik pada tahun 1939, akan tetapi belum dinobatkan sebagai Sultan/Raja.
Sementara menurut daftar silsilah raja-raja kerajaan Gunung Sahilan yang dibuat oleh Drs. H. Darmansyah, 25 September 1992, bahwa kerajaan Gunung Sahilan telah diperintah oleh 10 orang raja dan satu orang putra mahkota yang akan dinobatkan apabila raja yang terakhir wafat.
Akan tetapi putra mahkota yang dilantik pada tahun 1939 tidak jadi dinobatkan menjadi sultan Gunung Sahilan berhubung Kerajaan Gunung Sahilan sudah berintegrasi dengan Republik Indonesia pada tahun 1946.
Urutan silsilah raja-raja Gunung Sahilan itu adalah sebagai berikut : Pertama, Raja Mangiang, adalah raja pertama di kerajaan Gunung sahilan, merupakan keturunan raja Gamayung Panitahan Sungai Tarap, kuburannya di dekat Masjid Sahilan. Kedua,
Raja bersusu empat, kuburannya berdekatan dengan Raja Mangiang. Ketiga, Sultan dipertuan Sakti Sultan Bujang, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan. Keempat, Sultan yang dipertuan Muda, kuburannya di Kapalo Koto Gunung sahilan. Kelima Sultan yang dipertuan Hitam, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.
Keenam, Sultan Yang Dipertuan Besar, kuburannya di kota suci Mekah. Ketujuh, Sultan Abdul Jalil yang dipertuan Besar Sultan Daulat, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.
Kedelapan, Sultan Abdurrahman Yang Dipertuan Muda, kuburannya di Jeddah. Kesembilan, Sultan Abdullah Sayyah gelar Yang Dipertuan Besar Tengku Sulung, kuburannya di RSUD Pekanbaru, 18 Maret 1951.
Kesepuluh Sultan Abdullah Hassan Tengku Yang Dipertuan Sakti, kuburannya di Lipat Kain pada 8 Desember 1957. Kesebelas Tengku Ghazali (putra mahkota dinobatkan pada tahun 1941), kuburannya di RSUD Pekanbaru pada tanggal, 26 Juni 1975.
Raja terakhir Kerajaan Gunung Sahilan adalah Tengku Ghazali yang tak lain adalah ayahandanya Tengku Nizar yang pada waktu Pilkada Kampar tahun 2011 ikut menjadi calon Bupati Kampar. Sedangkan salah seorang putri Tengku Ghazali bernama Putri Indra, lahir di Gunung Sahilan pada tanggal, 17 Maret 1929. Putri Indra adalah ibundanya Drs H Azwan, M.Si yang saat ini memangku jabatan sebagai Sekda Kabupaten Kampar.
Jejak sejarah Kerajaan Gunung Sahilan ini telah dibukukan Pemda Kampar, tepatnya oleh Dinas Pariwista dan Kebudayaan Kabupaten Kampar pada tahun 2007 yang lalu. Akhirnya semoga sejarah juga bercerita tentang hubungan-hubungan peristiwa, peristiwa yang satu terjadi akibat peristiwa yang lainnya, peristiwa yang lain itu akan menimbulkan peristiwa yang berikutnya.
Selanjutnya tempat wisata di Kampar yang wajib Anda coba adalah berkunjung ke Museum Kandil. Museum ini berlokasi di Pulau Belimbing Kecamatan Bangkinang. Diresmikan pada 22 Mei 1988 berada di Pulau Belimbing Kuok Bangkinang. Museum ini adalah sebuah rumah berbentuk Rumah Adat Lima Koto Kampar yang dibangun sekitar tahun 1900 oleh almarhum Haji Hamid.
Kini dalam museum ini tersimpan berbagai barang antik koleksi yang memiliki nilai sejarah seperti barang tembikar, alat pertukangan, alat pertanian, alat-alat penangkap ikan, alat-alat kesenian, alat-alat pelaminan, alat-alat perdagangan, alat pesta dan lain-lain.
Di samping alat-alat tersebut tersimpan pula dayung perahu dagang terbuat dari kayu yang sangat kuat berasal dari abad ke 18, serta sebuah kompas yang terbuat dari bambu yang dibuat oleh bangsa China karena angka-angka yang tertulis pada kompas tersebut ditulis dalam aksara China. Ada dua ratus lima puluh (250) macam barang antik koleksi Museum Kandil Kemilau Emas yang semuanya merupakan koleksi warisan yang telah turun temurun sebagai barang pusaka
Rumah Lontiok ditopang oleh beberapa tiang penyangga. Rumah ini sengaja dibangun tinggi dengan beberapa tujuan. Pertama, tingginya rumah Lontiok berguna untuk melindungi keluarga yang berada dalam rumah dari serangan binatang buas seperti ular atau harimau. Selain binatang buas, tingginya rumah Lontiok berguna juga menghindari serangan dari suku-suku lain dalam masyarakat Kampar. Kedua, tinggi rumah Lontiok juga berguna untuk memelihara hewan atau berternak. Bagian kolong rumah yang cukup luas dipakai sebagai kandang hewan. Selain kandang hewan, terkadang bagian kolong rumah lontiok juga berfungsi sebagai gudang baik untuk tempat penyimpanan makanan juga untuk tempat penyimpanan perahu. Tingginya rumah Lontiok mengakibatkan dibutuhkan tangga untuk dapat masuk ke dalam rumah. Tangga yang digunakan untuk masuk ke dalam rumah Lontiok menjadi salah satu ciri khas dari rumah itu. anak tangga umumnya berjumlah ganjil karena disesuaikan dengan keyakinan masyarakat Kampar. Bentuk atap rumah Lontiok yang melengkung juga menjadi ciri khas dari rumah Lontiok. Bentuk atap rumah yang melengkung ini mempunyai makna hubungan manusia dengan Tuhan. Masyarakat Kampar percaya bahwa bentuk melengkung atap rumah Lontiok menjadi simbok penghormatan terhadap Tuhan yang mahakuasa. Tidak hanya kepada Tuhan, bentuk atap yang melengkung itu merupakan penghormatan kepada sesama ciptaan Tuhan. Pada zaman dahulu kala, rumah Lontiok hanya dibangun oleh masyarakat Kampar yang memiliki status ekonomi menengah ke atas. Hal ini menyebabkan rumah Lontiok menjadi lambang status sosial dari masyarakat Kampar. Masyarakat Kampar juga memandang bahwa rumah Lontiok adalah tempat yang sakral.
Bentuk rumah Lontiok sangat identik dengan bentuk perahu. Rumah ini mempunyai bentuk melengkung sesuai dengan namanya yaitu Lontiok (lentik). Rumah Lontiok mempunyai bentuk seperti rumah panggung. Rumah ini mempunyai dinding yang miring keluar. Dinding rumah ini ditempelkan dengan ukiran-ukiran yang terdapat pada balok atap rumah. Balok ini menjadi penyangga sekaligus penghubung antara atap rumah dan dinding rumah yang miring. Balok atap rumah pun miring dan atap murah mempunyai bentuk melengkung yang mengarah ke langit. Pintu masuk rumah terhubung dengan anak tangga yang digunakan oleh anggota keluarga untuk dapat masuk ke dalam rumah. Umumnya, anak tangga disusun dengan jumlah ganjil. Rumah Lontiok dibangun atas beberapa tiang penyangga yang menopang lantai dan seluruh badan rumah. Bahan dasar rumah ini adalah kayu. Kayu tersebut juga bukan kayu sembarangan tetapi kayu pilihan yang mampu bertahan lama dalam berbagai cuaca